TEMPUH JALUR HUKUM: Pengacara Ischaq, Hendrikus Deo Peso (kiri) dan Walden Van Houten Sipahutar menunjukkan materi gugatan kliennya. (Lugas Wicaksono/Jawa Pos)
HAL tersebut terjadi pada 2 September 2022. Dari keterangan transaksi, semua pembayaran dinyatakan sukses. ”Keesokannya bank tidak menyerahkan uang itu ke rekening klien kami. Dicek di ATM tidak ada dana masuk. Dananya tertahan di bank,” kata pengacara Ischaq, Walden Van Houten Sipahutar, Jumat (27/1).
Ischaq dan istrinya, Alida Wardhani, menggugat bank penyedia EDC itu ke Pengadilan Negeri Surabaya. Dana yang macet itu berasal dari dua mesin EDC.
Satu atas nama Ischaq dan satu lagi atas nama istrinya, Alida. Ischaq sudah lama menggunakan mesin EDC untuk menerima pembayaran nontunai dari pelanggan yang membeli barang di tokonya.
Sebelumnya, dia tidak pernah mengalami masalah. Dana dari transaksi melalui mesin EDC itu selalu dapat ditarik keesokan harinya.
Ischaq lekas mengonfirmasi ke bank. Namun, Walden mengklaim tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Pihak bank mengaku menahan dana itu karena ada salah satu pelanggan yang menyanggah transaksi pada hari itu.
”Transaksi sekarang sudah by PIN. Kalau alasan bank seperti itu, tidak masuk akal. Pelanggan juga tidak ada yang komplain ke Pak Ischaq,” ujar Walden.
Menurut dia, sebelum menggunakan mesin EDC, Ischaq menandatangani perjanjian dengan pihak bank. Salah satu isi perjanjiannya, jika ada pelanggan yang menyanggah transaksi, menjadi tanggung jawab Ischaq sepenuhnya.
”Bukan alasan untuk tidak menyerahkan pembayaran untuk Pak Ischaq,” ucap pengacara asal Semarang itu.
Pihak bank juga tidak pernah menyurati Ischaq ketika menahan dananya. Pria 46 tahun itu tahu dananya ditahan bank setelah melihat tidak ada dana masuk ke rekeningnya meski pembayaran dari pelanggan tercatat sukses.
Ischaq dan istrinya melalui gugatan yang diajukannya menuntut pihak bank membayar ganti rugi Rp 526,6 juta. ”Kerugian itu sudah kami hitung dari dana yang tertahan dengan bunga moratorium,” katanya.