HALO SURABAYA – Tim pengacara dari Law Office Dr Hendra Wijaya, ST,SH, MH kembali mendampingi terdakwa Yon Permadian Tesna dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa (3/1/2023) kemarin.
Tim dari law office Dr Hendra Wijaya, ST, SH, MH yang berkantor di Jalan Erlangga Raya 41B-C, Semarang itu terdiri dari Walden Van Houten, SKOM, SH, Hendrikus Deo Peso, SH, MH, Arief Rohman Hachim, SH dan Eriek Yudinata Taher, SH.
Walden Van Hauten engungkapkan, perkara tersebut berawal dari utang piutang antara debitur Yon Permadian Tesna dengan kreditur Bank Jatim Cabang Kepanjen Kabupaten Malang. Bahwa pada 2017, terdakwa lancar dalam melakukan pembayaran tapi kemudian saat pandemi yaitu tahun 2020 terdakwa mengalami keterlambatan pembayaran.
“Bahwa atas keterlambatan tersebut, terdakwa tetap beritikad baik, dengan melakukan pembayaran dengan cara mengajukan permohonan restrukturisasi,” kata Walden.
Bahwa dengan permohonan pada restrukturisasi tersebut, menurutnya, tidak ada tanggapan dari Bank Jatim, sebagaimana surat permohonan, tanggal 12 Mei 2022. Menurut Walden, atas upaya yang dilakukan oleh terdakwa, alih-alih mendapatkan solusi dari pinjaman Bank Jatim, terdakwa justru dipanggil oleh kejaksaan.
“Bahwa terdakwa dalam keterangannya pada saat proses pemeriksaan di tingkat penyidikan sudah sangat jelas disampaikan, bahwa terdakwa tidak dapat melaksanakan pembayaran itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tidak terduga, seperti peristiwa Covid-19, pembatasan hubungan seseorang dengan yang lainnya,” jelasnya.
Kemudian, lanjutnya, yang terdampak serius adalah semua jenis usaha pada umumnya, tidak terkecuali usaha terdakwa yang tidak mungkin dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, terlebih lagi sudah diletakkan jaminan yang dapat dieksekusi.
“Sehingga kami melihat bahwa bergulirnya kasus ini hingga di meja persidangan kelihatan jelas sedikit dipaksakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU),” sambungnya.
Bahwa terdakwa Yon Permadian Tesna, adalah debitur yang beritikad baik. Terbukti telah melakukan pembayaran-pembayaran, dan memerintahkan keluarga yang dalam perkara ini sebagai saksi-saksi yang tergabung dalam system grouping untuk melakukan pembayaran dan bahkan ada pelunasan.
Adapun pembayaran/pelunasan, sebagaimana dalam Surat Keterangan Lunas Nomor 061/ 542. /KJP/ADM/SRT, untuk jenis pinjaman Rekening Koran dan Surat Keterangan Lunas No. 061/ 540 /KJP/ADM/SRT. Untuk jenis pinjaman Kredit Investasi, yang dikeluarkan oleh Bank Jatim Cabang Kepanjen tertanggal 19 Oktober 2022.
Menurut Tim dari Law Office Dr Hendra Wijaya ST, SH, MH, menjadikan kliennya sebagai terdakwa adalah suatu kekeliruan, mengingat bahwa menurut Jaksa, kliennya telah merugikan keuangan negara.
“Namun tidak jelas darimana perhitungan kerugian keuangan negara dilakukan, sebab jaksa tidak melibatkan OJK dalam kasus ini untuk menentukan kerugian keuangan negara,” tandasnya.
Diterangkannya, MK dalam Putusannya No 25/PUU-XIV/2016 menghapus kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bahwa dalam putusannya, MK menilai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor terkait penerapan unsur merugikan keuangan negara telah bergeser dengan menitik beratkan adanya akibat (delik materil).
Unsur merugikan keuangan negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss), tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss) dalam tipikor.
Atas dasar ini, menurutnya Jaksa Penuntut Umum dalam membuat dakwaannya kabur, sebagaimana disebutkan dalam dakwaannya pada halaman 3 (tiga) yang pada pokoknya menyatakan bahwa kerugian yang dialami oleh PT Bank Jatim sebesar Rp 12.837.266.607,49, padahal angka tersebut merupakan nilai yang timbul dari outstanding tagihan akhir.
Dengan perhitungan jumlah Baki Debet Rp 11. 474.999.999,94 ditambah dengan outstanding bunga sebesar Rp 1.362.266.607,55.
Sementara penasehat hukum Hendrikus Deo Peso berpendapat bahwa dari uraian dakwaan jaksa penuntut umum, peristiwa yang diuraikan bukan mengarah kepada kliennya sebagai debitur namun kepada pihak Bank Jatim, seolah-olah oleh jaksa hanya copy paste dari kejadian-kejadian sebelumnya saja.
“Namun terhadap peristiwa hukum yang didakwakan jaksa penuntut umum seharusnya kualifikasi perkara tersebut sebagai perkara perdata, karena selama ini klien kami sudah ada itikat baik yaitu melakukan pembayaran bahkan sudah ada pelunasan atas nama Sholikin,” katanya.
Penasihat hukum Arief Rohman Hachim mengatakan, ini merupakan perkara yang unik karena dalam dakwaan jaksa mendalilkan bahwa ada indikasi jaminan tidak dapat dieksekusi lelang.
“Argumen jaksa menurut kami sangat keliru ibarat belum ada api sudah muncul asap, artinya apa? belum ada sebab sudah timbul akibat, perbuatan belum pernah dilakukan berupa lelang tetapi sudah disimpulkan tidak bisa dilakukan lelang,” ujarnya.(HS)
Sumber : https://halosemarang.id/gara-gara-kredit-macet-debitur-bank-jadi-tersangka-tipikor